MALAM
membara membawaku untuk terus menanti kedatangan kereta warna biru. Aku
duduk memperhatikan saksama setiap petugas yang mengabarkan
kedatangannya. Kadang-kadang muncul suara dari speaker, ’’Mohon
perhatiannya, akan datang dari jalur satu, kereta ekspres’’.
Lagi-lagi
aku mengeluh, mungkinkah kereta yang harganya cuma tiga puluh lima ribu
rupiah akan datang terlambat? Batinku berkata ’’sial!’’ Rasa kesalku
akhirnya terobati saat kereta datang dari jalur dua.
Sudah satu
jam lamanya aku menanti dan aku hanya berpendapat bahwa ular sangat
kuat pun tak bisa mengalahkan baja yang dalam sedetik bisa melaju sangat
kencangnya. Sampai bebatuan melonjak tak pernah usai. Cepat larinya bak
pacuan kuda yang memenangkan lotre mingguan. Butir-butir keringat jatuh
dari mata dan daguku. Sesekali keluh kesah terucapkan dengan nada
kasar.
Panasnya
malam setelah turun hujan tak ubahnya berjemur di padang sahara.
Wajah-wajah dengan segala ekspresi telah terpampang rapi. Aku berjalan
bersinggungan badan antara perempuan dan lelaki. Beberapa ibu dan anak
kecil mencari gerbong yang agak sepi. Rupanya, ini tak terjadi hanya
dalam realita pesta mudik dan Natal. Ataukah ini dijadikan kesempatan
untuk menghemat pengeluaran dalam bulanan. Sungguh aku tak tahu.
Begitu
kereta berhenti, desakan koper dan jeritan manusia nyaring mengalahkan
suara mesin. Di sini aku mencoba berjalan pelan dengan membawa koper
besar. Seorang anak kecil menarik-narik celana jeansku. ’’Kak! Kakak
orang kaya ya?’’ aku tak mengerti apa yang ditanyakannya. GERBONG LIMA
Aku hanya tersenyum tak terlalu mengerti apa yang ditanyakannya.
Pemenggalan-pemenggalan kata yang terlalu rumit, serumit semut mengatur
pasukannya.
Masih
ditambah ada bayi merengek tak tahu bahasanya sendiri. Jelasnya aku
masih sibuk mencari kursi kosong tak memedulikan beberapa pertanyaan dan
omelan. Dari jauh kulihat seorang perempuan berhenti sejenak hingga dia
keluarkan handphone warna ungu. Saatnya dia melintas di hadapanku,
terlihat menarik hati, adakah magnet di kereta ini? Tubuhnya beraroma
wangi apricot. Rambutnya se perti habis di- rebounding, lurus dan halus.
Baju
kuningnya melekat sangat ketat. Parasnya bulat penuh tata rias. Mata
gemintangnya dibingkai warna biru pucat. Maskara telah melentikkan bulu
matanya. Kulihat bibir tipisnya berwarna shocking pink. Dia sangat siap
menggoda pria hingga salah satu pria merelakan tempat duduknya untuk
perempuan tersebut. Pandanganku tertuju kepada kursi C 01. Di sana ada
perempuan yang tadi kulihat sangat menarik.
Dia
memakai jaket keabu-abuan. Rapat matanya membuat orangorang mengira
bahwa dia adalah orang China yang sedang menikmati libur musim hujan di
kereta ekonomi tanpa AC dan TV. Yang lebih parah, dia membuka jaketnya
lalu mengipas-ngipas. ‘’Tak kubiarkan berahi ini memuncak dan kesalahan
di masa lalu tak akan terulang lagi di sini,’’ batinku mencoba
menahannya. Lutut yang dia pamerkan kuanggap koran bekas.
Pandanganku
telah berubah. Kupalingkan mata kepada sosok di samping perempuan
memesona itu. Tepatnya di kursi C 02. Aku melihat lelaki yang tak kekar
atau pun terlalu kurus. Wajahnya terlihat sangat rapi dan dia memakai
rompi ungu. Semilir angin malam membuat rasa kantuk terhenti di pundak
lelaki kekar yang duduk di kursi C 03. Tapi, aku terusik suara nyaring
pedagang asongan, dia hanya menambah desakan dalam kereta.
Perangai
anak-anak yang kujumpai tadi masih terus saja menanyakan keadaanku,
bahkan soal cinta. ‘’Kakak sudah nikah, ya? Ataukah sudah kawin?’’
Apakah kata-kata yang dimaksudkannya. Nikah dan kawin. Dua alur yang
berbeda. Dua-duanya seperti belum kualami, tapi salah satu dari pilihan
itu……. terbayang seperti menghantui ’’Tidak, adik manis,’’ kedustaan
yang menghujani otakku mulai terasa sakit.
Kembali
teringat gambar-gambar yang tak begitu jelas. Aku sulit mengatakannya
bak menulis di atas lautan. Dan akulah lautan itu. Suasana gerah di
malam hari walau pun hujan rintikrintik jatuh. Ditambah kebisingan para
penumpang, aku tak berdaya melawan keadaan yang sangat menjengkelkan
ini. Saat berhenti di Stasiun Cirebon, aku menguatkan langkah. Kulawan
desakan para penumpang menuju gerbong empat. Mungkin di sana aku bisa
mendapatkan tempat duduk dan segera pejamkan mata. GERBONG
EMPAT
Kereta yang aku tumpangi memasuki Cirebon. Beberapa stasiun di Jawa
Barat kulalui. Gelap malam semakin melarut. Retakan-retakan daun patah.
Aku mulai membaca doa tidur dan mimpi indah. Tetapi, beberapa kali
handphone-ku berbunyi. Lalu lalang pesan seakan menjadi dampak akan
berlebihan bergurau. Aku mencoba membalas beberapa sms yang masuk. Aku
hanya menulis “aku sibuk.” Kantukku terobati.
Di kursi D
01, kulihat ada seorang yang berkumis. Aku tak tahu itukah lele yang
didambakan setiap perempuan? Ataukah perempuan mendambakan dada kekar
dan anting kegagahan yang melekat di telinga kanannya? Bahkan, ada yang
berbisik, “Aku lebih suka saat dia mengisap rokok. Jiwa kasarnya seakan
terlihat langsung.” Aku hanya mendengar bisikannya. Tetapi, ada yang
menimpali bisikannya.
‘’Kepulan
asap itulah yang nanti membuat asmaku kambuh. Apa dia mau membawakan
dokter untukku?’’ aku agak setuju dengan komentar yang ini. Lalu, di
belakangku muncul anak yang tadi kujumpai. ‘’Kakak beruntung ya…tak
merokok…’’ Aku tak mengerti apakah yang dikatakannya? Apakah dia
menyindir ataukah sekadar kagum? Lebih-lebih aku heran kenapakah dia
terus mengikutiku?
Tetapi
biarlah, toh dia hanya anak kecil yang kehilangan orang tua. Aku
memberinya permen dan cokelat. Padahal, rencanaku, setelah sampai di
Pekalongan, itu akan kuberikan kepada anak tetanggaku yang usianya
hampir sama dengannya. Sedangkan di kursi D 02, kulihat seorang
laki-laki yang hidupnya hanya memuji Tuhan. Tentu aku tahu saat kulihat
yang dia genggam bukan handphone atau MP4, melainkan sebuah tasbih
melingkar warna putih.
Bibirnya
masih saja dibasahi kalimat tayibah. Sampai di sini pengihatanku tak
nakal lagi karena tak ada perempuan semenarik tadi. Dia adalah
pemandangan terindah selama hidupku. Aku berharap bisa mendapatkan kursi
kosong untuk mengobati rasa kantukku yang mulai menjalar ke mata.
Tetapi akhirnya aku tertidur dengan gaya orang sedang buang air besar di
wc umum. Lanskap angkasa menunjukkan amukan amarahnya.
Beberapa
petir menyambut kedatangan kereta di stasiun kecil Tegal. Desau dedaunan
jati, apel, dan bahkan mangga golek. Wajah-wajah boneka sama seperti
yang pernah kututurkan sebelumnya. Bau kotok ayam menyerbu hidung
pesekku yang mungkin banyak komedo. Saat itu para pedagang asongan
mengeraskan teriaknya untuk mengalahkan suara mesin,’’nasi hangat
makan…makan.” Ada juga suara pengemis,’’uang…barokah…uang…barokah.’’ Aku
tak habis pikir di dunia secanggih ini, masih ada pengemis yang
seharian tak makan.
Beberapa
koran lusuh tergeletak setelah para penumpang berhenti di Tegal. Ini
kesempatan bagiku untuk tidur di atas kursi. Dan akhirnya malam
mengizinkanku duduk setelah sekian lama berdiri. “Syukurlah,’’ ucapku
lalu langsung duduk di kursi D 01. Wajah yang kulihat di kursi D 02 di
gerbong empat berganti dengan wajah seorang ibu yang menggendong
bayinya, ‘’Umur berapa, bu?’’ tanyaku. Tapi, dia hanya mengangguk tanpa
ada suara, ‘’Hm…, bayi yang ibu gendong umur berapa?’’ Lagi-lagi tak ada
jawaban. Seorang asongan membuatku bernafsu untuk membeli mi seduh
dengan aroma bawang Bombay. ‘’Satu, mang! Harganya tiga ribu kan,
mang?’’
‘’Satunya
lima ribu!” jawabnya kasar. Semenit sebelum aku merogoh saku tiba-tiba
si ibu di sebelahku sudah duluan membayarnya. ‘’Matur nuwun,’’ kataku.
Hujan masih terus mengguyur beberapa wilayah di Jawa Tengah. Benakku
bertanya-tanya. Akankah sampai di tujuan dengan selamat? Di tengah
kesyahduan yang menjemput tidur, seorang polisi penarik karcis datang
dengan pose keangkuhannya.
Di atas
sakunya terlihat beberapa lambang jabatan. Berkilau menyipitkan mata.
Karcisku sudah kuberikan dan sosoknya mulai menjauh. Kini tinggal si ibu
di sebelahku terus saja menenangkan bayinya yang rewel. Dia membuatku
terganggu untuk mendengarkan MP4.
‘’Berisik
anak ibu!’’ tetapi teguranku tak membuatnya patah semangat. Aku kembali
memandangi wajah di sampingku. Ada rasa aneh antara aku dan dia.
Sepertinya aku pernah mengenali, bahkan akrab kepadanya, namun aku
teringat bahwa ada luka di otakku. ’’Maaf, apakah kita pernah bertemu?’’
tanyaku. Jawabannya masih hampa.
’’Maaf,
apakah kita pernah bertemu sebelumnya?’’ aku mengulangi pertanyaanku
dengan ditambahi kata. Namun, dia membisu, acuh tak acuh. Hanya bayinya
yang dia pikirkan. Bayi itu terus meronta-ronta seakan ingin bertemu
dengan bapaknya. Aku mencoba menanyakan sebuah pertanyaan, ’’bapaknya
tak ikut kenapa?’’ Ya…, aku menduga bahwa dia akan tetap membisu. Tapi,
tidak kali ini. Dia menjawab pertanyaanku de ngan singkat.
‘’Bapaknya
selingkuh dan tak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya,’’ jawabnya
kasar. Bahkan, aku sempat kaget dibuatnya. Bagaimana tidak? Dia menjawab
pertanyaanku dengan mata melotot. Aku masih heran dengan tingkahnya
yang terus melotot kepadaku. Aku seperti dijadikan pelampiasan dendam
atas peristiwa yang dia alami dan ceritakan kepadaku. Tiba-tiba dia
berkata sepatah kata singkat, ‘’tolong jaga anak ini dan kursiku. Aku
akan ke gerbong lima sebentar.‘’ Aku tertawa manja. Kupikir dia tak
betah menahan air kencingnya setelah minum sebotol air mineral. Tapi,
kenapa dia harus ke gerbong lima? Ah, mungkin wc di gerbong empat ini
telah sesak.
‘’Ya,
’’aku mengiyakan perintahnya. Beberapa langkah kudengar dia meninggalkan
gerbong empat. Aku hanya menjawab senyumnya setelah dia memalingkan
wajahnya sebentar. Hawa terasa dingin saat memasuki Stasiun Pemalang,
Jawa Tengah. Kudengar kereta sesak ini berhenti sejenak di Stasiun
Pemalang. Ada keanehan memang setelah petir menyambar sangat dahsyat.
Tapi,
karena penumpang semakin banyak, maka kereta ini pun terus berjalan
dengan kencang. Aku menatap jam di tanganku saat kereta berhenti lagi di
stasiun kecil di Petarukan, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten
Pemalang. Hujan mulai tak bersahabat lagi, bahkan suara tangisan bayi
yang aku gendong kian terdengar nyaring. Bayi itu seakan memanggil
ibunya agar segera kembali, begitulah aku mengira.
‘’Sudah
dua jam lebih si ibu tak kembali,” ucapku agak sedikit heran. Terdengar
beberapa suara kaki riuh dengan sepatu warna putih, hitam, sesekali
sandal jepit murahan dengan warna hijau polos. Salah satu di antara
mereka ada yang beralas telapak kaki saja. Aku mengira itulah sandal
kulit mo del terbaru. Tapi, anehnya lagi, mereka lari meninggalkan kursi
saat terdengar suara letusan yang mahadahsyat. Aku melihat ada tas
merah di sebelahku. Mungkin, tas itu sengaja ditinggalkan si ibu tadi.
Ada secarik kertas berpita merah juga. Aku hanya membaca sebagian kata
‘’tolong jaga anak kita.’’
Ternyata
gerombolan orang itu berlari bukan untuk melihat macan masuk kereta atau
pun melihat kembang api di tengah hujan lebat atau melihat orang gila
yang menari- nari riang. Melainkan karena gerbong lima terlepas dari
relnya dan terguling-guling di sawah.
Suara
benturannya mengalahkan petir. Aku segera lari ke arah gerombolan orang
itu sambil tetap menggendong bayi. Aku menjerit kencang ‘’Raniiii…!!’’
Ini kali pertamanya aku menangis sampai mengeluarkan air mata
penyesalan. Si anak yang dari tadi kulihat bertanya ’’Kakak nangis
kenapa? Kita kan selamat ataukah kakak kehilangan istri? Kakak sudah
kawin kan? Tapi belum nikah ya? Kakak, ini aku bawa sapu tangan. Kita
menangis bersama-sama setelah ini. (**)
0 komentar:
Posting Komentar