Kalau Boleh Memilih
Ratih tersenyum kecut begitu membuka tudung saji. Di meja makan hanya ada tempe goreng, telur balado, di tambah oseng-oseng kangkung. Dari hari ke hari begitu saja menu yang ada. Kalau boleh memilih…
“Aduh, Neng! Pamali ngomong begitu, kamu harus bersyukur bisa makan seperti ini. Masih banyak orang yang lebih prihatin dari kita. Kalau mau melihat kehidupan jangan ke atas, tetapi lihat ke bawah. Dengan begitu hidup ini terasa ringan. Kita jadi penuh rasa syukur. Pokoknya....” Ceramah ibu bisa panjang sekali. Tidak usah pakai teks deh, seperti pembawa berita di TV. Pokoknya nyerocos terus tidak ada putus-putusnya.
Ratih memang hidup dalam keluarga sederhana. Namanya juga sederhana, ya semuanya serba di sederhanain. Tidak boleh punya keinginan yang muluk-muluk. Bahkan hape-pun menjadi barang yang mewah buat Ratih.
“Hari gini, nggak punya ha-pe?” ledek Salsa, teman sebangkunya. Hatinya panas, seperti terbakar api.
“Neng Ratih, Ibu bisa membelikan kamu ha-pe. Tapi Ibu kan harus memberikan kamu uang lebih untuk beli pulsa.”
Iya ya. Pokoknya semua omongan Ibu benar adanya. Ratih pun hanya bisa cemberut. Kalau boleh memilih...
***
Sore hari hujan turun rintik-rintik. Udara terasa dingin menusuk tulang. Ibu datang membawa pisang goreng. Ratih langsung mengambil pisang goreng.
“Hati-hati masih panas!”
“Kalau hujan begini, gado-gado Ibu sepi pembeli, ya?”
“Ya, begitulah. Eh, Tih, Ibu punya ide, nih! Bagaimana kalau kamu bawa nasi kuning sama gorengan ke sekolah?”
Bagai mendengar halilintar, Ratih kaget campur takut.
“Kenapa? Malu?” tanya Ibu. Ratih diam seribu bahasa. Jantung Ratih berdetak dengan cepat.
“Nggak, aku nggak malu. Aku lebih malu kalau cuma bisa minta sama Ibu,” jawab Ratih lantang. Sepertinya dia merasa tertantang dengan pertanyaan Ibu tadi. Padahal hatinya ketar-ketir.
“Itu baru anak Ibu. Pokoknya ada bagian deh, buat tenaga pemasaran.” Ibu terlihat semangat sekali. Tinggal Ratih yang jadi kebingungan.
Besok paginya, ketika Ratih bangun, Ibu sudah siap dengan dagangan yang mau dibawa Ratih.
“Tidak usah bawa banyak-banyak dulu. Cuma lima bungkus, gorengannya sepuluh. Tawarkan kepada teman dekat dulu!”
“Oke Bos!” Ratih sok semangat.
Padahal kalau boleh memilih...
Jadilah hari itu Ratih berangkat lebih pagi. Berharap temannya yang belum sarapan tidak pergi ke kantin. Kelas masih kosong ketika Ratih datang. Tidak lama kemudian temannya datang satu per satu. Jantung Ratih berdetak lebih cepat, dia siap menawarkan dagangan.
“Sa, sudah sarapan?“ tanya Ratih pada teman sebangkunya.
“Belum. Yuk, ke kantin!”
“Jangan! Aku jual nasi kuning, nih. Murah, cuma dua ribu lima ratus.“
“Dari tadi kek ngomong. Eh, anak-anak, ada nasi kuning, nih!“ teriak Salsa. Tak menunggu lama, lima bungkus nasi kuning pun langsung berpindah tangan. Gorengannya pun sudah habis terjual. Semudah itu? Ratih tidak percaya dia dengan mudah melewati semua.
“Yaaa... aku kok nggak kebagian? Besok bawa yang banyak, ya!“ pesan Aisyah yang datang lebih siang. Ratih mengangguk pasti.
Besoknya Ibu menambah jumlah dagangan. Rasa malu Ratih perlahan hilang begitu saja. Yang ada di kepalanya hanyalah bonus dari Ibu. Masakan Ibu memang yahud! Sambalnya yang super hot, cepat akrab di lidah teman-teman. Belum seminggu, anak kelas sebelah pun ikutan membeli dagangan Ratih, termasuk Ikbal. Sudah lama Ratih menaruh hati pada cowok keren itu.
Suatu pagi, tanpa sengaja Ratih berpapasan dengan Ikbal di pintu gerbang. Ikbal langsung membawa kantung dagangan Ratih. Bapak yang mengantar Ratih tersenyum penuh arti.
“Jangan Ikbal! Aku bisa kok!“ Ratih tidak enak hati, malu dilihat teman-teman yang lain.
“Tidak apa-apa, biasa saja kali!” jawab Ikbal enteng.
“Aduh, aku jadi nggak enak, nih!” Saat mereka beradu pandang, ada rasa hangat di dada Ratih.
“Aku bangga lho, sama kamu!”
“Biasa saja kali!”
“Kamu bukan cewek biasa, Tih!” Ratih jadi salah tingkah, apalagi melihat tatapan teman-teman lain melihat mereka berjalan bareng.
“Ceila! Ada gosip baru, nih!” Teriak Salsa begitu mereka masuk kelas.
“Biasa saja kali!” Jawab mereka kompak. Ikbal mengantar Ratih sampai bangkunya.
“Terima kasih, ya!“ ucap Ratih tulus.
“Romantis banget,” bisik Salsa.
“Apanya yang romantis?”
“Kalian sudah jadian, ya?” Ih, dasar Salsa mau tahu saja urusan orang. Ratih hanya tersenyum hangat.
Ah, sekarang aku tahu harus memilih apa.
Aku ingin tetap jadi anak Ibu. Ibu yang sederhana dengan pemikiran yang sederhana pula. Tapi itu justru yang membuat aku belajar memahami hidup. Terima kasih Ibu, bisik hati Ratih.
0 komentar:
Posting Komentar